Latar Belakang
Berangkat dari permasalahan kronis transportasi perkotaan seperti kemacetan dan polusi udara, sebagian dari anggota masyarakat berinisiatif untuk berbuat aksi sederhana dengan memanfaatkan sepeda sebagai alat transportasi. Berbagai macam gerakan dan komunitas terbentuk, salah satu yang paling terdahulu dan terbesar saat ini adalah gerakan B2W Indonesia yang gerakannya juga tersebar di seluruh kota-kota dan kabupaten di Indonesia. Selain B2W (2005), banyak juga komunitas-komunitas pesepeda lainnya seperti Anak Haram Jalanan Ibukota (2017), Ecotransport (2016), Subcyclist (2016), Fixietas, Rocketers, atau yang memiliki kesamaan profesi seperti Indonesia Bike Messenger Association atau Other Side Experience, dll. Bagi kebanyakan dari mereka, sepeda bukan hanya digunakan untuk last mile transportation, tapi mereka menggunakan sepeda sebagai moda transportasi utama baik untuk bekerja atau berkegiatan dengan jarak rata-rata yang cukup jauh (>10km). Bukan juga sepeda hanya sekedar alat olah raga dan rekreasi. Namun demikian, tantangan yang dihadapi bagi para pesepeda urban di kota-kota besar di Indonesia tetap sama, seperti kurangnya infrastruktur ramah bersepeda, faktor keamanan pesepeda (terutama bagi para pesepeda kaum hawa), polusi udara, pengendara bermotor yang agresif, dll. Padahal di dalam Undang-undang 22 tahun 2009 diamanatkan pada pasal 25 poin 1g bahwa “Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat” dan Pasal 45 poin 1b bahwa “Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi lajur sepeda”. Pasal 62 juga disebutkan bahwa “Pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda” dan “Pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas”. Terkait dengan Ketertiban dan Keselamatan, Pasal 106 poin 2 menyebutkan bahwa “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda”. Sanksi pun ditegaskan dalam pasal 284 bahwa “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki atau pesepeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)”. Nampaknya implementasi dari pasal-pasal tersebut masih jauh panggang dari api.
Sebagian pemimpin daerah mulai menyadari bahwa kota memiliki daya dukung dan daya tampung yang terbatas. Semakin meningkatnya populasi suatu kota dan wilayah pendukungnya, semakin banyak permasalahan yang akan dihadapi baik dari sisi polusi, efisiensi energi, serta daya dukung prasarana transporasi. Mereka mulai menyadari bahwa kota yang maju adalah kota yang memiliki visi berkelanjutan serta dapat menjawab tantangan di masa depan seperti perubahan iklim. Dengan demikian Kota dan warganya dituntut harus dapat beradaptasi dan menekan emisi karbon termasuk dari sektor transportasi. Infrastruktur modern di Ibukota seperti Transjakarta dan MRT yang digadang-gadang dapat menjawab permasalahan transportasi urban pun butuh usaha besar dalam mewujudkannya dan dengan biaya yang tidak murah.
Sementara itu, Sepeda sebagai salah satu temuan abad-19 yang paling berharga menjadikan alat transportasi tersebut sebagai alat transportasi paling efektif dan efisien sepanjang sejarah dibandingkan dengan transportasi masal sekalipun apalagi kendaraan bermotor pribadi seperti mobil atau motor. Sepeda juga bisa dikategorikan alat transportasi yang demokratis. Selain murah, penggunanya pun tidak perlu memiliki Surat Izin Bersepeda dan dapat digunakan oleh berbagai rentang umur dari anak-anak sampai manula. Sayangnya, di Indonesia, moda transportasi hijau ini tidak didukung dengan keberpihakan kebijakan perencanaan perkotaan yang pro kepada sepeda sebagai moda transportasi. Transportasi publik yang buruk, pembangunan jalan yang memanjakan para pengguna kendaraan bermotor pribadi, pembiaran terhadap pelanggaran dan ketidakdisiplinan menjadikan jalanan terasa seperti “neraka” bagi mereka yang tidak enggan mengambil risiko.
Bersepeda di masa pandemi pun menjadi tantangan tersendiri. Sebelum terjadi pandemi, para pesepeda urban di kota-kota besar di Indonesia “dipaksa” menggunakan perlengkapan khusus seperti Helm karena risiko kecelakaan yang cukup tinggi atau menggunakan Buff/masker karena tingkat polusi yang juga tinggi. Bandingkan dengan kota-kota dengan infrastruktur pesepeda yang layak seperti Groningen atau Amsterdam yang masyarakatnya tidak perlu menggunakan Helm atau masker ketika bersepeda. Pesepeda di sana pun terdiri dari rentang usia dan gender sangat bervariasi. Sementara pesepeda di sini masih didominasi oleh kamu pria dengan kondisi fisik yang layak. Saat Pandemi, beragam ritual baru pun yang perlu ditambahkan seperti kebiasaan mencuci tangan, menjaga kebersihan sepeda, menjaga jarak, menghindari zona merah, dll.
Bukan hanya pesepeda, bagi para penglaju (pekomuter) yang sebelum pandemi dapat mengandalkan transportasi publik, pada saat pandemi penggunaan transpub pun banyak dibatasi dan berisiko tinggi terhadap penularan terutama pada waktu-waktu dan kondisi tertentu (saat jam sibuk). Walaupun dari beberapa pengamatan, bagi sebagian orang menggunakan transpub pada saat pandemi dikarenakan tidak ada pilihan lain (dari faktor biaya dan alternatif moda).
Di sisi lain, pada fase pasca pandemi, Krisis Ekonomi pun membayangi setiap negara. Para ahli ekonomi modern banyak berargumen bahwa krisis pasca pandemi menunjukan kelemahan sistem perekonomian saat ini yang terlalu bertumpu pada sistem kapitalisme global. Cara pandang ekonomi yang tidak mempertimbangkan keterbatasan sumber daya alam dan daya dukung lingkungan juga dapat memperparah situasi pada saat terjadi guncangan seperti pandemi global yang kita alami saat ini. Sekali lagi Dunia diingatkan bahwa konsumsi yang berlebih akan berujung pada krisis multidimensi. Termasuk kondisi carut marut harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia saat ini sedang bermasalah. Artinya, ketergantungan terhadap bahan bakar fosil perlu segera diantisipasi. Salahsatunya dengan kebijakan yang pro mobilitas yang efisien.
Sayangnya, dengan adanya krisis pasca pandemi ini, inisiatif beberapa pemerintah daerah (seperti DKI Jakarta) yang akan membangun infrastruktur pesepeda berpotensi akan terhambat. Alokasi anggaran yang akan digunakan untuk membangun akan bepotensi teralihakan untuk penanganan pandemi dan membangun ekonomi lokal.
Arahan Diskusi
Diskusi Kali ini lebih mencoba untuk menjawab, jika Indonesia dapat melewati kondisi puncak pandemi dan memasuki fase Kelaziman Baru atau “new normal”[1],
- Apakah dengan bersepeda dapat menjawab tantangan-tantangan yang ada di masyarakat tersebut? Termasuk: (1) bertransportasi; (2) mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil; (3) menggerakan ekonomi lokal; (4) mengefisiensikan mobilitas masyarakat urban. Dengan kata lain, apakah bersepeda dapat menjadi peluang (opportunity) menjadi solusi dari permasalahan-permasalahan tersebut? Jika ya, apa saja tantangan-tantangannya?
- Apa saja prakondisi yang perlu dicapai untuk menjawab tantangan yang bahkan sebelum terjadinya pandemi pun hal-hal tersebut sudah ada, seperti: (1) buruknya infrastruktur pesepeda; (2) tingginya risiko kecelakaan dan kejahatan di jalanan; atau menjawab tantangan klasik mendasar lainnya seperti: (3) apakah kultur bersepeda di negara tropis itu memungkinkan untuk dibangun? Apa yang perlu dilakukan untuk mendorong hal tersebut?
- Apa antisipasi para pesepeda urban saat kondisi pembangunan infrastruktur pesepeda dipastikan akan terhambat? Kebijakan seperti apa (misal, dalam 1-2 tahun ke depan) yang dapat diusulkan ke pemerintah untuk meningkatkan rasa aman[2] dan nyaman[3] bagi para pesepeda, selain pembangunan fisik/infrastruktur?
Saat ini pemerintah mendorong industri sepeda motor listrik di Indonesia, apakah kebijakan tersebut sudah tepat? Apakah pesepeda akan tersingkirkan karena aksioma “tanpa polusi” sudah dapat terjawab oleh Motor Listrik? Sepeda Listrik (Pedelec) sudah lebih dulu diproduksi oleh produsen-produsen sepeda lokal, kenapa hal tersebut tidak didorong oleh pemerintah? Apakah infrastruktur motor listrik sesuai dengan kondisi jalanan di kota-kota Indoensia? Apakah Apakah kultur “bermotor” dapat mengadopsi dengan mudah moda transportasi baru ini dan apakah akan membuat jalanan menjadi lebih aman?
[1] setidaknya diharapkan demikian, walaupun banyak perdebatan bahwa indikator fase pandemi kita masih bermasalah (kurva epidemi yang belum tersedia, rate testing yg rendah, dll.). Kelaziman Baru atau “new normal” adalah istilah dalam bisnis dan ekonomi yang mengacu pada kondisi keuangan setelah krisis keuangan 2007-2008, setelah resesi global 2008-2012, dan pandemi COVID-19. Istilah ini sejak itu telah digunakan dalam berbagai konteks lain untuk menyiratkan bahwa sesuatu yang sebelumnya tidak normal telah menjadi biasa.
[2] Aman berarti tingkat risiko kejahatan dan kecelakaan di jalan rendah. Contoh risiko kejahatan termasuk risiko dijambret, palak, begal, pelecehan seksual, dll. Risiko kecelakaan termasuk terserempet, tertabrak, tertimpa truk yang overload, dll. atau menabrak orang yg melanggar rambu, rem mendadak, dll.
[3] Nyaman berarti mendorong orang secara sadar memilih untuk berjalan kaki dan bersepeda sebagai moda utama bermobilisasi atau sebagai last mile. Indikatornya adalah orang lebih memilih berjalan kaki untuk perjalanan di bawah 1km dan orang lebih memilih bersepeda sebagai moda transportasi di bawah 5km, atau sepeda listrik (pedelec). Kenyamanan pejalankaki dan pesepeda sangat terganggu oleh pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pengendara kendaran bermotor yang diantaraya adalah sbb: Pelanggaran batas kecepatan (UU 22/2009 P106 4g) dan Pelanggaran kebisingan suara dan emisi gas buang udara (UU 22/2009 P48 3a,3b). Kenyamanan pejalankaki dan pesepeda juga terganggu dengan meningkatnya volume kendaraan bermotor yang mengakibatkan polusi udara dan suara kronis di kota-kota besar.