Minggu lalu seorang kawan saya sudah kembali bekerja ke kantor di masa transisi PSBB ini, walaupun tidak full satu minggu penuh, namun menggunakan program “shift-shift-an”. Sebelum pandemi, saat kami bekerja bareng dulu, kami memiliki ritual makan siang di luar kantor. Alasan kawan saya waktu itu adalah ingin memberdayakan ekonomi lokal. Sebagian kawan saya yang lain ada yang memilih membawa bekal sendiri, karena sudah dimasakin oleh istri (anda tidak mau istri anda tau kalau anda memilih makan padang di luar dibanding bekal anda bukan?), tapi tetap ikut makan di luar saat jam makan siang.
Terlepas bawa bekal atau tidak, kami memiliki tujuan yang sama saat memilih makan di luar kantor, walaupun hanya berjarak kurang dari 500m dari kantor, bukan di meja pantry apa lagi di meja bekerja, tujuannya yakni “bergerak dan cari suasana”. Hal itu merupakan salah satu bukti bahwa tubuh manusia dirancang untuk bergerak dan banyak atrikel yang membahas hal tersebut (salah satunya ini). Atau sebagian kawan saya bilang alasannya makan di luar adalah “mencari kehangatan”, karena seharian sudah dikondisikan bekerja dengan suasana kantornya yang full AC. Dan dia memang mencari lokasi makan siang yang dapat dicapai dengan berjalan kaki dan terpapar sinar matahari.
Beruntung kita hidup di Indonesia (bahkan di Jakarta sekalipun), kita masih dapat menemukan kantin/warteg yang menjual makanan dengan kisaran harga yang masih pas di kalangan sebagian besar orang. Range makanan dengan harga Rp10.000-Rp25.000 masih banyak ditemukan di kantin-kantin/pujasera di sepanjang kantor Sudirman-Thamrin misalnya. Di negara-negara lain, di Amerika Serikat misalnya, makan di luar tanpa membawa makanan sendiri berarti anda harus mengeluarkan ongkos lebih dan tidak ekonomis (kecuali anda makan makanan Junk Food dengan kualitas kesehatan makanan yang rendah). Bahkan ada video lucu yang membahas bahwa Makan di luar akan bikin anda Bangkrut!. Menariknya si pembuat video mengatakan, sebenarnya anda dapat mensubstitusikan kebiasaan makan siang di luar tersebut dengan tetap membawa bekal/makanan sendiri, namun tetap makan di luar. Di Taman misalnya. Atau di ruang terbuka publik lainnya.
Nah, sayangnya, tempat-tempat seperti itu semakin lama semakin sedikit ditemukan. Sebuah taman dengan pohon rindang nan asri, terdapat kursi/meja yang dapat digunakan oleh publik untuk makan siang, berlokasi di dekat perkantoran kita, semakin jarang ditemukan. Hanya sedikit area perkantoran yang memberikan fasilitas taman dan ruang publik yang layak. Padahal hal tersebut juga dapat digunakan penyedia kawasan untuk berkontribusi dalam penyediaan ruang terbuka hijau suatu perkotaan dan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta sampai saat ini belum mencapai setengahnya. Yang sering kita temukan adalah, ruang privat dalam bentuk kawasan Perbelanjaan (cth: Mall). Di mana ruang tersebut memaksa kita untuk melakukan transaksi terlebih dahulu sebelum dapat memanfaatkan fasilitas tersebut. Sering kita dengar kan: “Maaf pak, apa bapak sudah memesan makanan? fyi, kursi/meja ini khusus untuk pembeli.”
Di sisi lain, ruang terbuka privat tersebut pun banyak didedikasikan dan/atau diokupasi oleh para perokok. Sialnya, penegakan hukum terkait hal ini sangat buruk di Indonesia. Sudah menjadi hal lumrah ketika kita datang ke restoran dan menemukan bahwa ruang non-ac atau di luar adalah tempat para perokok. Artinya, ruang terbuka kita semakin dipersempit oleh polusi para perokok, selain polusi dari kendaraan bermotor jika lokasi ruang tersebut berada di pinggir jalan. Hal yang menurut saya sangat tolol dan perlu digugat!
Padahal, di tengah Pandemi ini, ruang-ruang terbuka publik menjadi mutlak dan penting untuk diadakan. Saat-saat ini adalah momentum sebuah Kota untuk menambah ruang publik yang bukan hanya bersifat sementara, namun juga untuk jangka panjang dan seterusnya. Seorang pakar Energi juga mengatakan bahwa berinteraksi di dalam mall di saat-saat seperti ini juga memiliki risiko tinggi tertularnya Covid19.
Video ini mejelaskan bagaimana berinteraksi di luar ruangan memiliki risiko yang lebih kecil terkena Covid19 dibandingkan di dalam ruangan, dengan catatan bahwa sama-sama diterapkan protokol kesehatan atau jaga jarak yang layak. Yang jelas jangan bergerombol, kenakan masker (terkecuali saat makan), dan menjaga jarak satu sama lain.
Dengan demikian, ruang yang dibutuhkan orang-orang pun semakin lebih besar. Beberapa kota seperti prancis merekomendasikan untuk menambah ruang terbuka di luar untuk vendor-vendor Cafe. ITDP juga merekomendasikan agar para vendor makanan misalnya mentransformasikan ruang parkirnya menjadi ruang terbuka untuk pelanggan.
Epilog
Kita tentunya tidak bisa selama-lamanya berada di dalam rumah terus. Seperti yang disebutkan tadi bahwa tubuh manusia dirancang untuk bergerak. Kita pun mahluk tropis, yang seharusnya terbiasa dengan suhu dan kelembaban di kota-kota tempat kita tinggal di Indonesia. Terpaparnya kita dengan matahari yang cukup pun akan menjaga imunitas kita. Di masa transisi ini saya pun merutinkan diri untuk beraktivitas di luar ruangan dengan intensitas ringan seperti bersepeda santai di sekitar rumah seperti pagi tadi sempat sarapan dan ngopi (bawa bekal sendiri) di salah satu fasilitas ruang terbuka, yang ironisnya adalah di sebuah ruang terbuka privat di Kota Tangerang Selatan.
